TRADISI KEILMUAN DAN PERADABAN ISLAM


Oleh : Dr. Kholili Hasib, M.Ud

Fakultas Adab UII Dalwa – Bangil

Peradaban, dalam pandangan Islam, identik dengan prestasi keilmuan. Iman dan ilmu merupakan motor penggerak pemikiran dan aktivitas masyarakat dalam satu peradaban. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengutip suatu hadis: “Dua macam golongan dari umatku (yang memegang peran penting). Bila mereka baik, maka baiklah umat manusia. Ingatlah, mereka adalah umara (ahli pemerintahan) dan ulama (ahli ilmu)”.(HR. Ibn Abdil Barr).

Oleh sebab itu, sejak zaman Nabi Saw, ilmu itu perlahan berkembang di jazirah Arab. Hingga meluas seiring tersebarnya Islam ke beberapa negeri sekitar jazirah Arab. Di mana Islam hadir, maka di situ tumbuh tradisi keilmuan.

Peradaban tidak dimunculkan oleh kekuatan ekonomi maupun militer, tetapi oleh kekuatan ilmu. Ekonomi, militer, seni, budaya hanyalah buah manis dari pohon subur yang bernama ’ilmu’. Ibarat membangun sebuah gedung, ilmu adalah sebuah pondasi. Pondasi yang kokoh akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan gedung. Tanpa dilandasi budaya ilmu yang kokoh, perdaban yang kuat tidak akan muncul. 

Untuk membangun peradaban, ilmulah yang harus pertama kali dikejar. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berakibat fatal. Bangsa Mongol pernah menjadi bangsa adidaya dibawah kepemimpinan Jenghis khan, tetapi itu hanya seumur lilin. 

Kesalahan Mongol adalah meletakkan kekuatan militer di atas kekuatan ilmu, dengan menjadikan perpustakaan Baghdad sebagai istal kuda dan membuang seluruh buku dan kitab ke sungai eufrat. Sejak saat itu, bangsa Mongol tengah menggali kuburnya sendiri diantara peradaban dunia. Kini, Mongol hanyalah salah satu negara miskin di dunia.

Dalam sejarah, ternyata minimnya kekuatan militar dan jumlah manusia tidak menjadi faktor keruntuhan peradaban. Bangsa yang memiliki kekuatan militer tetapi lemah dalam ilmu pengetahuan akan dikalahkan oleh bangsa yang berilmu pengetahuan meski lemah kekuatan militernya.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan: “Telah berlaku beberapa kali dalam sejarah, bagaimana sesuatu bangsa yang kuat tenaga manusianya tetapi tidak ditunjang oleh budaya ilmu yang baik, akan menganut dan tunduk terhadap peradaban yang ditaklukannya” (Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu, hal. 12).

Contoh ketika bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan Kublai Khan menaklukkan Cina, ternyata dalam perjalanan waktu bangsa Mongol ‘dicinakan’ oleh rakyat Cina. Karena bangsa Cina berpengetahuan sedangkan bangsa Mongol hanya mengandalkan kekuatan manusia.

Begitu pula ketika bangsa Mongol menyerang Baghdad secara membabi buta, membantai penduduknya dan membakar perpustakannya. Namun, ternyata bangsa ini terislamkan dalam beberapa tahun kemudian.

Ketika kepulauan Nusantara masih dicengkeram oleh budaya dan agama animisme, dinamisme, Hindu serta Budha, penduduk Nusantara tidak teredukasi dengan baik. Sebab peradaban Hindu-Budha tidak membekas tradisi ilmiahnya.

Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha sesungguhnya tidak memberi bekas yang kuat terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar hingga saat ini.

Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kebada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu berpengaruh bahkan tidak menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu. Rakyat pada masa itu lebih banyak menganut animisme-dinamisme, kepercayaan lokal yang sudah ada sebelum Hindu-Budha. Jika memeluk Hindu-Budha, maka lebih cenderung dipengaruhi anismisme-dinamisme.

Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa runtuhnya peradaban dikarenakan penyakit materialisme dan menurunnya pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun mengatakan: “Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan” (Ibnu Khaldun, Mukaddimah, hal. 289).

Terkait dengan itu, Hamid Fahmy Zarkasyi berpendapat, untuk membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu. Kedua, memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. terutamanya perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman (Hamid Fahmi Zarkasyi,Peradaban Islam Makna dan Strategi Pembangunannya,hal. 41).

Salah satu bukti bahwa Islam sebagai sebuah aturan hidup yang sempurna adalah penghormatannya atas ilmu. Hal ini sangat pantas karena ilmu merupakan cikal bakal peradaban. 

Dalam konsep islam, ilmu akan membimbing manusia untuk mencapai dua tujuan penciptaannya, yakni  untuk menghamba kepada Allah dan berperan sebagai khalifatullah di muka bumi. Pengetahuan atas kebenaran wujud Allah dan kekuasaan-Nya, akan mengantarkan manusia untuk menghamba kepada Allah dengan ikhlas. Dan pengetahuan atas perannya di muka bumi sebagai khalifatullah akan akan menghantarkannya manusia untuk menghargai dan melestarikan alam dengan berdasarkan penghambaan kepada Allah. 

Hal itu terlihat jelas dengan adanya idiom rahmatan lil alamin yang hanya ada dalam Islam. Tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifatullah di muka bumi hanya akan berjalan dengan baik apabila manusia itu beradab.

Bangil, 19 April 2025

Lebih baru Lebih lama