Adab dan Ilmu: Bukan Soal Mana yang Lebih Penting

 

Oleh : Dwy Sadoellah

“Adab lebih diutamakan ketimbang ilmu.” Itu yang sering dikutip, diulang-ulang dalam pengajian, diceramah-ceramahkan. Tapi entah kenapa, kalimat itu kadang membuat sebagian orang merasa cukup hanya dengan sopan. Padahal, sopan tanpa paham bisa menyesatkan dengan cara yang halus.

Adab itu penting, ya. Tapi adab bukan datang dari langit tanpa sebab. Ia butuh ilmu. Ia tumbuh dari pengetahuan—tentang apa yang layak, apa yang tidak. Tentang kepada siapa harus diam, dan kepada siapa layak bicara.

Adab itu bukan spontanitas orang, apalagi hasil karangan bebas. Ia perlu belajar. Dan belajar itu butuh ilmu. Ngaji.

Maka maksud dari “adab didahulukan” bukan berarti adab lebih penting daripada ilmu. Tapi bahwa ketika sudah berilmu, yang ditampilkan adalah adabnya—bukan ilmunya. Yang dikedepankan adalah cara menghargai guru, menghargai kiai, menghargai orang-orang yang sepuh, bukan koleksi hafalan dalil. Yang dijaga adalah sikap, bukan sibuk menonjolkan diri sendiri.

Karena ilmu yang benar, jika tidak disertai adab, bisa berubah jadi pedang yang menyakiti. Sikap yang menjelkan. Tapi adab yang lahir dari ilmu, akan menjadi cahaya yang menuntun. Membahagiakan.

Maka lucu jika ada yang merasa cukup hanya dengan adab, tapi tak mau belajar. Atau sebaliknya, merasa tinggi karena ilmu, tapi abai pada adab. Seperti orang membawa air penuh, tapi embernya bocor.

Dan yang paling celaka adalah mereka yang berilmu, tapi sibuk menunjukkan ilmunya. Sebab yang benar-benar berilmu, justru sibuk menunjukkan adabnya. Bukan karena takut dianggap bodoh, tapi karena tahu: ilmu sejati tak butuh tepuk tangan.

Ayo ngaji... Āmīn

Lebih baru Lebih lama